Rabu, 17 Agustus 2011

CATATAN SAAT BERTAMU DI RUMAHNYA 3: BERKARYA TIDAK MENGENAL USIA

Di pertengahan rakaat kedua Nenek Yus hampir terjatuh, tubuhnya oleng karena lututnya sakit hingga tak kuat berdiri. Di akhir salam Nek Yus meminta maaf kepadaku yang bnerdiri di sebelah kanannya, kami berdua hampir terjatuh karena lengan kanannya refleks menyambar lengan kiriku.  Saya sarankan agar Nek Yus shalat duduk saja, tapi tetap beliau bersikukuh shalat berdiri. Saat ceramah tiba berceritalah Nek Yus yang sepanjang siang tadi mencari warnet atau jasa rental komputer.
“tadi siang saya keluar masjid keliling cari warnet, tidak ketemu”
Sama dong nek, saya cari-cari jaringan internet gratis tapi gak ketemu-ketemu juga, lama gak update status dan baca berita.. :D. “ Mau apa Nek?”
“Buku  Nenek sudah mau cetak, tapi penerbit minta tulisannya diketik”
Sambil memperlihatkan buku bersampul hijau yang sangat tebal. Isinya sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an. Pikirku, kalau pun tadi ketemu warnet atau jasa pengetikan pasti ditolak karena tulisan Nenek Yus terlalu indah untuk bisa dibaca, tulisan khas orang-orang tempo doeloe. Tetapi menariknya, meski ditulis tangan, tak satupun terdapat coretan dalam buku itu. Rapi, bersih dan teratur. Coba saja bandingkan dengan tulisan tanganku, aihh jadi malu sendiri.
“besok nenek mau keliling lagi mencari warnet”
“tidak usah nek..tidak usah... saya bawa laptop, nanti saya ketikkan”
“Ini banyak nak, nanti ganggu pekerjaan kamu”
“Setiap nginap di sini saya bawa laptop Nek, jadi nanti sebelum tidur sehabis tarwih kita kerjakan dulu ketikan ini sama-sama Nek”
“ Alhamdulillah, Allah beri kemudahan...makasih yah nak..niatkan sebagai ibadah..wah harus saya ganti dengan apa?”
“ganti dengan do’a saja Nek, doakan saya yah juga Nek itu sudah jadi imbalan laur biasa”

Begitulah perbincangan malam tadi dengan nenek Yus, nenek yang sudah tua dan telah saya ceritakan pada beberapa tulisan sebelumnya.  Semangatnya berburu pahala di bulan ramadhan ini dengan tubuh ringkih seharusnya membuat anak muda yang gagah tampilan fisiknya harus malu, yaah termasuk saya lah. Setelah membaca sekilas muqaddimah naskah buku tersebut, inilah yang membuat saya terkagum sekaligus malu pada semangat Nenek Yus untuk tetap berkarya di usia senja. Berikut sedikit kutipan muqaddimah dari buku Nenek Yus “Taubatlah Sebelum Datang Siksa”.
...
Saya bukanlah pengarang buku atau penterjemah Al Qur’an dan bukan pula jebolan pesantren, tetapi hati kecil saya sudah lama terpanggil untuk berbagi ilmu yang saya pelajari dari terjemahan Az Zikra kepada siapa yang mau membaca buku ini,  di usia ke-70 tahun inilah baru saya lakasanakan cita-cita saya sebagai warisan buat generasi muda muda. Beberapa ayat ada kaitannya satu sama lain yang terdapat dalam beberapa surat, saya pilah-pilah dan saya pilih-pilih, saya `  kelompokkan jadi satu-satu judul supaya mudah dipahami, terutama bagi yang awam.
Dalam hal ini tidaklah saya mengambil keuntungan kecuali semata-mata mengharap ridha Allah SWT untuk mengampunkan dosa-dosa saya. Semoga saya dipanggil dalam keadaan Husnul Khatimah dan dengan ilmu yang bermanfaat ini, mudah-mudahan Allah SWT memasukkan saya kedalam kelompok orang-orang  shalihin yang dicintaiNya untuk mendapatkan syurga Allah. Aamiin yaa rabbal’alamiin.
Semoga semangat Nenek Yus tertular ke kita juga, ayo berkarya!

Minggu, 14 Agustus 2011

RAMADHAN : MOMENTUM "MENJUAL" ISLAM

Sirup pisang ambon akan sangat mudah dijumpai di Makassar saat bulan Ramadhan.  Hampir setiap warung akan menjual sirup yang dikonsumsi rata-rata sebotol untuk empat hari di masing-masing rumah. Sirup ini teridentikkan dengan aneka ta’jil di bulan Ramadhan, mulai pisang ijo, es buah sampai pallu butung atau sekadar  penambah manis es kelapa muda. Citra Ramadhan dan sirup berwarna merah ini semakin mengakar di masyarakat, sehingga di luar bulan Ramadhan sirup ini tidak akan selaku di bulan puasa.  Kalau bisa bisa dibilang masyaraka seperti ini: Ramadhan tak lengkap tanpa sirup pisang ambon.  Entah bagaimana pencitraan sirup ini begitu mengakar di masyarakat. Sama halnya ketika masyarakat Indonesia memiliki perspektif, bahwa Ramadhan tidak lengkap tampa kolak sebagai ta’jil. Sehingga di stasiun televisi menyiarkan khusus aneka kolak dari berbagai daerah,  resep cara pembuatan kolak sampai tayangan informasi  kehidupan selebritas tak lepas dari pembicaraan tentang kolak.
Salah satu sunnah yang dianjurkan saat berbuka puasa adalah diawali dengan sesuatu yang manis. Dalam konteks Indonesia, manis dikaitkan dengan segala kuliner yang rasanya manis.  Rasa manis ini kemudian dianggap sebagai kebutuhan puasa masyarakat muslim, sehingga ramailah produk makanan manis dipropagandakan sebagai ta’jil saat berbuka puasa. Teh, sirup aneka rasa, minuman serbuk,  gula, sampai semua produk yang dinilai manis akan membuat iklan khusus edisi Ramadhan. 
Tidak hanya sekadar manis,  peluang pasar akan kebutuhan berpuasa semakin dikembangkan. Haus setelah seharian berpuasa adalah peluang yang sangat tepat untuk melahirkan kebutuhan baru. Minuman dingin dipropagandakan secara apik.  Dari haus berkembang kebutuhan lain,  tubuh yang berpuasa tidak hanya sekadar haus tetapi kehilangan banyak ion tubuh. Sehingga muncullah propaganda aneka minuman isotonik atau minuman ber-ion yang tampil dengan pesan menghindari dehidrasi saat berpuasa. Semantara segmentasi peluang lapar saat berpuasa beda lagi, maka mun cullah produk-produk makanan yang dianggap pas untuk berbuka. Propagandanya untuk peluang kebutuhan lapar tak kalah semarak, mulai dari bumbu masak yang pas untuk menu buka, minyak goreng untuk berbuka, margarin untuk masak makanan berbuka, mie instan untuk berbuka praktis saat di jalan, makarel siap saji, sampai sosis pun dipropagandakan sebagai hidangan pas saat berbuka untuk anak-anak. Sahur  juga punya segmentasi peluang pasar juga, kebanyakan masyarakat Indonesia memiliki keluhan sakit maag saat berpuasa.  Menyikapi kebutuhan ini, dihadirkanlah obat khusus pencegah penyakit maag yang pas diminum saat sahur. Segala kebutuhan berpuasa di bulan Ramadhan dianggap sebagai peluang pasar yang menarik. Lebih menariknya lagi, yang awalnya emmenuhi kebutuhan pasar berkembang dengan menciptakan kebutuhan pasar. Lahirlah produk-produk yang seakan-akan dibutuhkan pada saat ramadhan. Bahkan cenderung membentuk identifikas  baru akan kebutuhan masyarakat saat berpuasa.
Propoganda dalam memenuhi kebutuhan pasar maupun menciptakan kebutuhan baru di pasar dihadirkan melalui  iklan.  Seiring perkembangan kreativitas pelaku media, iklan dihadirkan sangat menarik dan mencoba membuat kaitan antara Ramahdan dan produk yang ditawarkan. Dapat kita lihat bagaimana sikap altruisme yang perlu dikembangkan sebagai sikap postif di bulan Ramadhan, dikaitkan dengan salah satu provider jaringan seluler. Margarin akan dikaitkan dengan  orang yang sakit saat berpuasa. Sampai yang kelihatannya terkesan dipaksakan, seperti cat tembok yang dikaitkan dengan Ramadhan. Iklannya pun dimulai dengan warna wani sajadah muslimah yang sedang shalat. Penonton diakhir tayangan iklan biasanya baru bisa menangkap pesan produk yang diiklankan sambil berucap “Oo..iklan itu toh?”
Ramadhan  menjadi momentum peluang pasar yang menggiurkan. Segala yang berkaitan dengan Ramadhan dan islam akan dikaitkan atau berusaha dikait-kaitkan dengan berbagai produk-produk seperti contoh yang telah diceritakan di atas. Simbol-simbol maupun pencitraan Islam akan sangat mudah dijumpai pada tayangan iklan: kopiah, sajadah, mukena, tarwih, buka puasa. Belum lagi tradisi baru sebagai tren muslim kota dipropagandakan  dengan apik dan dianggap tak lepas dari Ramadhan, Idul fitri dan Ummat Islam: ngabuburit, bedug maghrib, mudik dan serupanya. Iklan-iklan seperti ngabuburit dengan nelpon hemat, mudik aman dan tidak capek dengan minuman berenergi, sampai oli yang pas saat berkendara di saat mudik hadir ditawarkan untuk masyarakat Muslim di Indonesia.
Bagi saya wajar saja, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim yang signifikan jumlahnya. Boleh dibilang, sasaran pasar yang menggiurkan untuk produk-produk yang berkaitan dengan islam dan aktivitas keberagamaan. Hasilnya, banyak produk yang ‘diislam-islamkan”. Ramadhan menjadi momentum “menjual” Islam melalui berbagai iklan baik di media cetak, televisi maupun maya (online). 
Pemilik modal yang cerdas, akan mampu melihat peluang pasar ini sebagai sesuatu yang prospektif. Muatan islam tidak semurninya dipropagandakan dengan maksud mensyiarkan Islam, tetapi mempropagandakan Islam sebagai jualan yang marketable.
Nah, ini akan memiliki pengaruh terhadap daya konsumsi masyarakat Muslim Indonesia yang akan sangat membengkak di Bulan Ramadhan. Maunya beli ini dan itu, karena dianggap sebagai bagian dari pelengkap ibadah ramadhan. Masyarakat Muslim menjadi sangat komnsumtif dengan menghabiskan banyak uang untuk berbelanja di bulan Ramadhan.  Sehingga tidak banyak rumah tangga perlu mengalokasikan dana tambahan yang tidak sedikit untuk keperluan Ramadhan. Kita barangkali masih ingat, bahwa puasa adalah media pembelajaran yang dimaksudkan untuk mendidik Muslim menahan diri. Salah satu sifat menahan diri di sini adalah tidak mengikuti hawa nafsu untuk bersikap boros dan membelanjakan harta secara berlebih-lebihan.  Berpuasa adalah momentum untuk melatih kesederhanaan dengan ikut merasakan bagaimana kaum dhuafa menahan lapar dan haus.  Semoga saja, kita bisa kembali makna awal bulan Ramadhan dengan bersikap sederhana dan membelanjakan harta sekadarnya saja kecuali dengan banyak bersedekah di jalan Allah. Wallahu a’lam” (Amelia, Istiqlal -11.30 14 Agustus 2011)



Jumat, 12 Agustus 2011

HARAP DAN TAKUT : Harus jalan Bergandengan


HARAP DAN TAKUT: Jalannya Bergandengan
Seperti yang saya ceritakan dalam tulisan sebelumnya (Allah Maha Baik: saat bertamu di rumahNya), saya berkenalan dengan seorang ibu tua yang sederhana namun gurat cahaya keshalihan tampak di raut wajahnya yang keriput. Setelah “libur” sepekan, masih dalam rangka sebagai tamu saya bertemu kembali dengan ibu itu semalam.
“waah, lama tidak ketemu ibu” sambil mencium tangannya
Ibu tadi hanya tersenyum, memamerkan ujung gigi bagian tengahnya. Senyum bersahaja dan menghangangatkan bagi lawan bicaranya.

“barusan dari Bandung” dijawab dengan suara kecil hampir tak terdengar
“Jadi selama saya tidak ke sini Ibu di bandung”
“Tidak, bolak balik...langsung pulang”
“waahh, ada urusan penting yah bu?”
Di dalam hati, urusan penting yang saya duga ada keluarga ibu tadi yang meninggal atau sakit.
“cuma mengantarkan naskah tulisan yang mau diketik oleh penerbit untuk diterbitkan”
Datar ibu tadi menerangkan dan saya sendiri cuma diam karena tidak sangka dengan penjelasannya barusan. Pikirku, sudah setua itu tapi ibu tadi masih mau berkarya. Dari tampilan luarnya tidak mudah ditebak bahwa ibu ini seorang penulis atau setidaknya mampu menulis (ini satu pelajaran juga untuk tidak menilai kapasitas seseorang dengan melihat tampilan luarnya saja)

“Buku apa bu?” , saya bertanya pelan
“ Judulnya.... TAUBAT SEBELUM DATANG SIKSA”
Glekk, saya tertegun dan menelan ludah sambil mengulang dalam hati judul yang tadi disebutkan.
Taubat sebelum datang siksa, sangar sekali kedengarannya judul itu. Otak saya langsung mengasosiasikan kata siksa dengan neraka, api, cambukan, kesaksian, jeritan, nanah, dan asosiasi mengerikan lainnya. Seperti di waktu SD Ibu Guru Agama membandingkan soal indahnya surga dan pedihnya neraka. Lalu sekian tahun saya belajar soal isu-isu kontemporer, masalah keagamaan yang lebih kontekstual, islam yang humanis, kesatuan ummat islam, sampai perjuangan islam. Sekian tahun mempelajarinya seakan memompa heroisme beragama. Hingga saat ibu itu kembali menyebutkan judul yang mengingatkan pada pelajaran SD, saya sedikit melirik dan berucap lirih dalam hati, Judul ini sangar kedengarannya tapi sangat kontekstual.
“Peliharalah dirimu dari Neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah: 24)
“Maka Kami memperingatkan kamu dengan Neraka yang menyala-nyala” (Al Lail: 14)
Seringkali kita lebih banyak ditawarkan sekaligus diajarkan tentang ayat-ayat HARAPAN. Pelajaran ini memotivasi meningkatnya kuantitas dan kualitas ibadah bahkan membakar heroisme beragama kita. Surga adalah kado bagi penggiat ibadah, sebagai motivasi yang mendorong segala aktivitas ibadah dan aktivitas keberagamaan kita. Namun, manusia sebagaimana janji syaithan adalah objek yang akan terus digoda untuk tersesat. Godaan ini akan datang dari depan, belakang, kiri dan kanan. Sehingga terjerumusnya manusia untuk terjebak dalam lubang dosa dan kemaksiatan termasuk perbuatan keji dan kedzaliman adalah tidak mungkin akan terbebas dari manusia, kecuali jika manusia menjadikan do’a sebagai senjatanya. Peluang untuk terjebak dan menjadi pengikut-pengikut syaithan akan sangat mungkin terjadi pada manusia. Iming-iming kado, menimbulkan persepsi sendiri bagi manusia, jika kadonya tidak diambil tidak masalahkan?.
Padahal kita lupa, bisa saja kado tidak kita ambil jika tidak mengikuti apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Tetapi manusia lupa bahwasanya ada konsekuensi yang melekat ketika kado tersebut tidak diambil. Secara otomatis, menolak kado surga berarti menginginkan kepedihan neraka. Kita asik dengan ayat-ayat harapan, tentang indahnya surga dan apa yang harus kita lakukan untuk meraihnya. Kita lupa, bahwa ada neraka yang memang telah diciptakan Allah untuk hambaNya yang ingkar. Seakan-akan kita menepiskan kehadiran neraka dengan siksaan yang sudah disiapkan sepaket. Akhirnya kita pun memiliki harapan besar tapi tidak dibarengi dengan rasa takut. Saya sendiri akhirnya menyadari, bahwa harap dan takut harus berjalan bergandengan.
Rsa takut inilah yang akan memelihara kita, menjauhkan manusia dari kemungkinan-kemungkinan godaan syaithan untuk menjerumuskan manusia. Pada dasarnya manusia memiliki tabiat untuk takut pada sesuatu, jika rasa takut terhadap sesuatu ada, manusia cenderung akan menjauhi apa yang ditakutinya. (15082011)

Rabu, 03 Agustus 2011

ALLAH MAHA BAIK : SAAT BERTAMU DI RUMAHNYA


Tersebutlah saya yang sejak hari pertama selalu saja sahur sendiri, begitu juga berbuka (ifthar). Sungguh tak enak. Jam pulang kantor yang lebih cepat tentu bukan hadiah menarik bagi penghuni rumah tak berkeluarga sepertiku di Ramadhan berkah ini, sehingga belajar mengaji dengan ustadz dari Madinah di suatu masjid , jadi pilihan yang paling pas untuk mengumpulkan pahala ramadhan sekaligus menghindari rumah yang sepi.
Waktu berbuka tiba, di sampingku ada ibu tua dengan penampilan sederhana dibanding ibu-ibu lain di masjid mentereng ini ikut berbuka bersama. “Bu, ini ada kue..kalau Ibu mau silahkan”. Percakapan dimulai, saya pun akhirnya mendengar cerita dari ibu ini:
“ Saya nginap di masjid ini, InsyAllah 30 hari”
“wah, emang udah bisa itikaf yah bu?” selaku

“Sepi, rumah saya besar dan saya Cuma sendiri. Suami baru saja meninggal, anak saya bekerja di Makassar. Saya udah niatkan tinggal di masjid 30 hari. Setelah survey beberapa masjid, ini yang paling kondusif. Anak saya yang mengantar ke masjid ini dan menitipkan ke security masjid kalau ibunya bukan gelandangan. Saya sudah bawa persiapan lengkap, malah kemarin bawa bekal sahur banyak tapi karena di sini disediakan sahur jadi saya bagikan saja ke anak muda di sini”
Setelah kami menikmati menu berbuka
“sini bu, sampahnya saya buang”
“Ohiya, saya juga dari Makassar Bu.... Keluarga saya juga tak di sini. Kemarin sahur dan berbuka sendiri. Emm, bisa gak Bu saya temani ibu nginap di sini?”

Ibu tadi tersenyum
“Iya ayo nak, tidur di sini saja.. Nanti beribadah semalaman di sini. Kita pinjam loker satu lg untuk simpan barang-barang kamu”
Diam
“ehh Adzan nak, kita shalat dulu...semoga Allah merahmatimu....kalo belum menikah, semoga Allah memberimu jodoh yang shalih, kamu anak yang baik”
Tersanjung, tuing!
Tarwih di masjid ini cukup lama, 20 rakaat dengan 1 juz setiap malam. Saya dan ibu tadi Cuma mengambil 8 rakaat ditambah 3 witir.
“Nak, rasulullah dulu mengerjakan 8 rakaat saja, namun ada sahabat mengerjakan 20...tapi Rasulullah tidak melarang”
Saya menangkap pesan, ibu tadi dalam kesederhanaannya mengerti dan paham tentang Islam.
Lau larutlah kami dalam syahdu lantunan ayat-ayat Allah di masjid yang penuh manusia dengan segala tabiatnya. Tradisi muslim kota meramaikan tarwih sepertinya jadi pemandangan yang dapat dijumpai di masjid-masjid kota ini. Berbeda sekali dengan pemandangan saat shalat fardhu di luar bulan Ramadhan. Tak apalah, ramadhan menjadi momentum rekreasi dan penyegaran spritual muslim kota, disyukuri sajalah sebagai sebuah tradisi yang baik.
Tidak hanya ibu tadi, di malam itu ada beberapa ibu-ibu tua lainnya. Tepatnya kalau saya sebut nenek. Di sebelah, saya ternyata ada seorang ibu dengan perlengakapan amunisi super lengkap. Segala makanan udah dibawa. Ibu ini lain lagi, punya anak 3 dan semua sudah berkeluarga. Sengaja mabit di masjid ini, mau beribadah khusyuk meski suaminya ada di rumah. Ibu ini siap dijemput setelah subuh.
“Saya, Alhamdulillah sudah tua...sudah keliling hingga ke tembok Cina”
Ibu itu terus bercerita
“Tapi saya suka momentum Ramadhan, mabit mulai dari awal-awal ramadhan. Banyak hikmah nak.”
“Oh iya, kamu jangan lupa banyak berdo’a di bulan ini nak, minta jodoh yah...InsyAllah dikabulkan..pasti..janji Allah pasti! Ini bulan dikabulkannya do’a...jodohmu pasti yang terbaik dari Allah, mintalah”
Dalam hati cuma bilang “yaa...itu lagi” 
Malam dihiasi dengan tafakkur dengan segala kerendahan hati bermunajat pada Allah. Di sekililing kami terlihat ibu-ibu yang aneh-aneh. Kami ber 20 di tempat itu. Ada yang bicaranya bisnis mulu, ada yang ngoceh-ngoceh tak jelas, tapi selebihnya mereka tenggelam dalam kekhusyukan ibadah. Subhanallah.

Sahur tiba, kupon dibagikan. Saya menikmati saja antrian pendek ini. Seperti mau dibagikan sembako. Tak apalah! Emang kenapa?.
Setelah, menukar kupon dengan makanan sahur bersama seorang ibu, beliau mengingatkan
“pengalaman sahur seperti ini mengingatkan kita pada kaum dhuafa, kita sahur di tengah-tengah mereka. Kita jalani dan jadikan ini bahan renungan. Ini masih lebih baik, karena di masjid lain ada yang lebih memprihatinkan dan dengan menu sahur sekadarnya. Belajarlah dari sini nak”.
Saya sangat menikmati suasana malam itu hingga sahur.
Allah memang Maha Baik. Maha Tahu kebutuhan hambaNya. Saya yang sepi di rumah, tiba-tiba saja digerakkan untuk ke Masjid itu, bertemu dengan ibu-ibu tadi, sungguh karunia dari Allah. Selain saya banyak belajar, saya merasakan atmosfer rumah di bulan Ramadhan ini. Sehari Sebelumnya saya hanya dibangunkan anak-anak yang keliling gang memukul kentongan memecah gendang telinga, mengganggu bagi yang mendengarnya. Sekarang, saya dibangunkan dengan penuh kelembutan oleh ibu-ibu tadi. Satu persatu mereka mengajak saya untuk makan, mengingatkan sudah shalat lail atau belum. Sungguh menyenangkan dan menenangkan. Semoga nama dan wajahku ikut teriring dalam do’a mereka. Ngarep.. :D,

Kamis, 14 Juli 2011

Peluk Aku

Mama
Bisakah aku memelukmu?

Mama
Bisakah aku berbaring di pangkuanmu?

Pasti engkau akan menjawab
"Tentu bisa anakku"

Karena aku tahu
engkau pun merindu pada anakmu ini

Mama
Peluk aku
erat yah Ma...
Agar mama tahu kalau aku merindu
Kerinduan yang sesakkan dada

Mama
aku sudah dewasa
sungguh malu jika rebah badan
tersedu sedan di sisimu
tapi aku juga sungguh pongah
jika tidak jujur
Bahwa aku lemah jauh darimu

Mama
Peluk aku

Rabu, 04 Mei 2011

ENERGI SEPASANG JIWA


Seperti air menumbuhkan
Berubah tandus menjadi rimbun
Begitulah cinta hendak kutawarkan
agar kau mengerti arti ketulusan

Ini cinta sederhana
yang ingin membebaskan dari segala penjara
ini cinta seadanya
yang ingin membangkitkan seutuhnya

Jika cinta ini berarti kebahagiaan
sepatutnya ia diperjuangkan
Sebab cinta adalah energi sepasang jiwa


Medan, 4 Mei 2011
Curcolnya setap KPPPA yg lagi DL..:)

Senin, 14 Maret 2011

SEMANGAT ALTRUISTIK PERLU DIDUKUNG PEMAHAMAN YANG TEPAT



Pagi yang berkah. Ini Sabtu yang paling semangat, pagi-pagi sudah siap berangkat ke kampus (biasanya, Sabtu adalah hari terbaik untuk istirahat setelah 5 hari bekerja dan lupakan kuliah :D). Benar kata nenek, berpacu dengan pagi agar rezeki tidak dipatok ayam. Saya tidak perlu mengeluarkan ongkos kopaja dua ribu rupiah untuk rute perempatan Matraman – Rawamangun. Seorang laki-laki muda yang sebelumnya bertanya “mbak.. ke terminal rawamangun naik apa yah”, sepertinya ingin mengucapkan terima kasih dengan “caranya” sendiri. Bagi saya sudah ada dua keuntungan, pertama karena dibayarkan ongkos kopaja, kedua saya sudah membebaskan diri saya dari sifat kikir memberi informasi.

Rezeki saya tidak itu saja di Sabtu pagi, baru saja turun dari kopaja terlihat ada perempuan yang tergeletak di pinggir selokan, persis di samping halte depan kampus UNJ. Di samping perempuan tadi ada anak 18 bulan di sebelahnya yang hampir nyebur ke dalam selokan. Hanya ada dua orang di halte, mereka memandang dari jauh dan sedikit penasaran, perempuan itu masih hidup apa tidak. Sebenarnya saya jadi mikir, dua orang sebelumnya saja enggan mendekati . Mereka takut sepertinya. Ah sudahlah, demi kemanusiaan Bismillah saja karena saya tidak tahu apa hal serupa bisa menimpa saya, teman atau keluarga saya di waktu berbeda. Anggap saja ini tabungan kebaikan.

Perempuan tadi masih hidup setelah memeriksa nadinya. Anaknya masih tetap asik bermain sambil mengganggu ibunya. Saya langsung berusaha mengidentifikasi perempuan tadi. Sepertinya, dia bukan gelandangan dan bukan pula korban kekerasan atau suatu kejahatan. Dia membawa baju serta perlengkapan untuk anaknya dan terlipat rapi di dalam tas. Saya sedikit grogi juga, sudah setahun lebih tidak pernah “bersentuhan” langsung dengan perempuan korban dalam tugas pelayanan pengaduan baik independen maupun tugas di LBH (kalaupun iya, hanya menangani konsultasi perempuan yang akan diceraikan). Duh, mana ini ada anak kecil pula, HP lowbat, sendiri dan ikut menjadi tontonan. “ dek tolong dong cari temanmu yang cowok di dalam kampus..”. Kalau dua orang di halte tadi susah dimintai tolong, kupikir mahasiswa biasanya lebih punya kepekaan dan sikap altruistik. Sisa energi telepon kumanfaatkan untuk menelpon teman kuliah dan teman kantor yang sebisa mungkin membantu, kalau ternyata kepekaan orang-orang sekitar susah untuk tergugah.
Setelah salah seorang teman datang, barulah beberpa orang lain mulai mendekati dan memberi minyak angin, teh hangat, dan menemani menjaga anaknya. Seorang sekuriti kampus telah menelpon pihak Polsek setempat. Meski sebelumnya teman sekantorku juga ikutan panik dan menelpon kepolisian (entah polisi mana) dan seperti sudah melekat kuat dalam memori, kalau tempat pengaduan perempuan korban adalah *2**** (terakhir baru sadar, domain kerja mereka hanya untuk korban kekerasan), sehingga oleh temanku pun ditelpon agar dapat membantuku di TKP. Sempat ada masalah juga dengan hal ini, untungnya mereka adalah orang-orang yang bijak sehingga sama-sama memaknai dalam bingkai kaca mata kemanusiaan, meski proses yang ditempuh kurang sesuai prosedural).

Polsek yang ditelpon oleh sekuriti tadi meluncur ke TKP (tadinya ingin membawa perempuan tadi ke rumah sakit, tapi tak seorang pun dari kerumunan yang mendukungku). Perempuan itu bersama anaknya di bawa menuju kantor polisi, tak tega membiarkannya sendiri saya ikut menemani. Perempuan tadi lemas tak bertenaga, akhirnya dibawalah ia ke RS terdekat. Setiba di RS, polisi tadi pamit pulang mau berpatroli. Tinggallah saya seorang diri di RS dan harus menangani anak usia 18 bulan yang terus menangis memanggil ibunya. Sambil menyuapi roti dan biskuit. Awalnya saya masih cukup bisa mengendalikan situasi, tapi semakin anak itu menangis dan oleh perwawat tidak membolehkan anak kecil mendekati ruang pasien, semakin paniklah saya dibuatnya. Apalagi menjadi tontonan banyak orang. Saya jadi berpikir, sekian lama saya bergelut dengan isu perempuan dan anak, ikut terjun dalam penerimaan pengaduan di LBH maupun secara independen, sekarang bekerja di kantor pemerintahan yang mengurusi anak dan perempuan, lalu bersekolah di bidang pendidikan anak, tapi tetap saja saya kikuk menghadapi persoalan perempuan dan anak (yang mungkin saja ini kasus biasa dibanding kasus-kasus lain yang mungkin pernah ikut membantu menanganinya). Untunglah, ada seorang pekerja sosial yang baik datang menemani (lagi-lagi saya harus minta maaf padanya, barangkali ini bukan domain kerjanya). Sambil menunggu siuman, saya sempat pamit ikut kuliah dulu. Setelah selesai dari kampus, saya mampir lagi dan mengurus proses administrasi RS.

Perempuan tadi bercerita alasannya ke Jakarta. Saya percaya padanya, meski untuk mempercayai kasus serupa seringkali membuat saya marah juga. Banyak penipuan dengan modus tidak punya ongkos. Dokter sendiri mengingatkan saya untuk hati-hati penipuan, tapi bagi saya akan bisa terdeteksi mana penipuan dan mana yang murni butuh pertolongan. Perempuan tadi tersesat dan kehabisan uang. Saya menyarankan ia untuk kembali ke Brebes. Karena 3 hari di jakarta tanpa tidur dan kelaparan akan memperburuk kondisinya. Akhirnya oleh Polisi, dia ditemani ke statisun Senen.

Menolong dalam konteks Jakarta, terkadang bukan hanya sekadar persoalan kemanusiaan. Tapi juga soal risiko. Banyak yang memiliki jiwa kemanusiaan, tapi tidak banyak yang ingin mengambil risiko, salah satunya risiko waktu. Tidak hanya itu, akses pun juga menjadi persoalan. Terkadang, Jika ada yang menemui perempuan korban di jalan atau sekitar rumah mereka (baik korban kekerasan, penelantaran, kriminal dan sejenisnya), mereka sangat ingin membantu, tapi mereka sendiri bingung dan tidak tahu harus memberi bantuan seperti apa. Ini terkait lemahnya informasi dan akses mereka untuk menjangkau tempat-tempat pemberi pelayanan pengaduan, ataupun tidak memahami alur “advokasi” yang bisa mereka tempuh. Belum apa-apa mereka sudah takut duluan kalau nanti harus berhubungan dengan polisi, kalau diantar ke RS nanti siapa yang jadi jaminan, siapa yang harus membayar. Sehingga sikap altruistik untuk menolong manusia terkalahkan dengan ketakutan akan risiko yang ditimbulkan dan semakin menciut karena tidak ketahuan masyarakat untuk menempuh akses yang tepat. Sosialisasi, sepertinya menjadi kata kunci.
(Mel, 14/3/2011)

Kamis, 24 Februari 2011

POLA ASUH DEMOKRATIS; mendidik anak menjadi cerdas


“ kaaakk.. jangan ke sana..panas! ”
“Dek..turun! nanti jatuh..”
“ duduk!”
“ awas, jangan main kotor lagi”

Perintah dan larangan, ini yang seringkali menjadi senjata seorang ibu dalam pola asuh yang diterapkan. Harus begini, jangan begitu , dan tidak ada kompromi. Titik!. Bukan tanpa dasar, pola asuh seperti di atas sebagai bentuk besarnya perhatian dan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Kuatir jika terjadi bahaya menimpa si kecil, sehingga tindakan preventif sangat perlu dilakukan. Hanya saja ibu lebih banyak melakukannya dengan dua hal tadi: perintah dan larangan.

Pada proses tumbuh kembang anak, factor pola asuh yang diterapkan ibu akan sangat berpengaruh. 50 persen seluruh potensi manusi terbentuk ketika anak masih dalam kandungan, selanjutnya 30 persen terbentuk saat anak berusia 4-8 tahun. Dapat disimpulkan, kontribusi ibu dalam hal pola asuh akan sangat bersar dan signifikan perannya. Tentu saja!. Itulah barangkali selalu disebut jikalau ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.

Usia antara 2-6 tahun, anak meminta haknya untuk dipercaya menajdi mandiri. Mereka akan senang kalau diberi kesempatan menetukan pilihannya sendiri. Inilah saat dimana anak senang bereksperimen, suka mencoba-coba , suka bertanya, dan besar rasa ingin tahunya. Mereka butuh kemerdekaan!.

Beberapa referensi menyebutkan, bahwa keluarga yang terbiasa dengan kultur demokratis cenderung memiliki anak-anak yang tumbuh menjadi manusia cerdas dan berhasil dalam menata kehidupannya. Kenapa?, di usia penting pertumbuhannya, keluarga (terutama ibu) memberikan pola asuh yang tidak sekadar perintah dan larangan saja. Anak diberi ruang untuk tumbuh merdeka dan mandiri. Anak memiliki kemerdekaan untuk beruji coba, menyelidiki sesuatu, menjelajah suatu tempat sehingga anak tidak pernah diam tapi selalu aktif. Peran ibu mengarahkan.

Dalam prinsip daur belajar, proses melakukan adalah tahapan awal untuk masuk pada tahapan selanjutnya. Melakukan sebagai tahapan bagi anak untuk menyelami dan mengalami sendiri, sebagai suatu pengalaman. Di tahapan ini, anak sebaiknya diajak menguji coba sesuatu (penelitian sederhana), menyentuh suatu objek, bermain peran atau sekadar jalan-jalan menjelajah suatu tempat. DI sini anak akan merasakan langsung apa yang mereka alami dalam proses sebelumnya. Biarkan mereka mengungkapkan apa yang telah dialamai dan dirasakan dalam proses tadi. Biarkan mereka mengeksplorasi dengan bahasa sederhana dengan kemampuan kosa kata yang mereka kuasai. Sepertinya, anak anda menjadi cerewet. Biarkan saja, ini proses menuju pengetahuan, Hingga akhirnya biar anak sendiri lah yang menyimpulkan pengalaman belajarnya dari tahapan-tahapan belajar yang telah dilalui. Menyenangkan!.

Biakan mereka banyak menyentuh (selama objek yang disentuhnya tidak membahayakan), karena keterampilan tangan adalah jendela menuju pengetahuan. Asah perkembangan motorik anak dengan mengajak mereka melakukan serangkaian aktivitas sederhana. Memindahkan kelereng dengan sendok dari mangkuk misalnya, atau ajak belajar menuangkan air di gelas minumnya sendiri. Untuk motorik kasar, bisa dilatih dengan mengajak anak out bond sederhana di pekarangan rumah. Jika ada pohon jambu yang rantingnya tidak terlalu tinggi, tantang anak anda untuk memanjatnya, ini akan baik utk anak belajar latihan koordinasigerak tubuh. Tentu saja, Mereka akan merasa dihargai dengan tantangan tadi!.

Ibu yang bijak, belajarlah untuk mengapresiasi potensi anak. Biarkan mereka tumbuh merdeka di ruang bebas. Sekadar perintah dan larangan adalah bentuk kasih sayang yang kurang tepat. Untuk menerapkan ini, tentu saja diawali komitmen untuk menerapkan pola asuh yang demokratis di rumah. Ingat, bahwa rumah adalah tempat anak tumbuh dan berkembang potensinya lebih dominan, bukan di sekolah. (Amelia)

Senin, 21 Februari 2011

LABORATORIUM JIWA




Chat box di akun situs pertemananku berkedip berwana biru .

“ Di mana Mel?”

“Mau Curhat…”

Tidak biasanya pikirku, maka saya-pun hanya tertawa dan sedikit meledek.
“mau curhat apa kamu?”

“ saya putus cinta”
“sakit”

Saya makin tertawa, setahuku dia temanku yang berkarakter keras, bahkan dia dalam “sebuah forum” didulat sebagai komandan…ya, dia komandan!. Kali ini dia tersudut oleh cinta, cinta membuatnya sakit, bahkan sebatang rokok pun tidak bisa mengobati sakitnya..duhhh! 
……..
Cinta, memang selalu rumit. Kalau tidak begitu bukan cinta namanya. Konon ada dua topik yang selalu menarik untuk dibahas, makin dibahas makin bikin penasaran : JIN dan CINTA.

Siapa yang tidak pernah putus cinta?, jika ada yang tidak pernah mengalaminya, barangkali saja ia tidak pernah jatuh cinta. Hampir tidak ada cinta yang mengalir tanpa ada liku, karena itulah dinamikanya. Cinta tidak selalu berujung bahagia, tapi ada pahit, asam, asin rame rasanya… Lalu, apa lantas menghindari cinta? Rasanya juga tidak adil. Sebab hidup tanpa cinta, sungguh gersang tak berwarna. Kalau begitu, kenapa ada sakit dalam cinta?. Sebenarnya cinta tak akan pernah menyakiti, karena focus cinta bukan pada yang dicintai, tapi yang mencintai karena esensi cinta adalah memberi. Seseorang yang mampu member i dengan tulus adalah orang yang mampu mencintai. Ketika pemberian-pemberiannya ternyata tidak berbalas, ia tidak kecewa. Bahkan ia akan terus saja memberi kepada orang lain, sampai pada akhirnya kebaikannya disambut oleh orang yang siap dan lebih pantas menerimanya. Sebenarnya, ini persoalan kesanggupan seseorang untuk mampu berdamai atau tidak dengan kehidupannya. Ketika putus cinta, dunia rasanya hampa, tak berinspirasi. Tapi jika jauh ditelusuri, ternyata selalu saja ada hikmah. Bukankah manusia memang diberi akal dan hati untuk menuai hikmah dari setiap episode kehidupannya bukan?. Bahkan, pun berkali-kali sakit karena cinta adalah pertanda bahwa yang mencintai adalah manusia yang berkarakter kuat. Ia selalu diperhadapkan dengan pergolakan jiwanya sendiri, ujian yang lebih hebat dari sebuah pertempuran di medan perang bahkan (yang ini mah lebay :p). Sampai pada satu waktu, cinta jualah yang mempertemukan pada kesejatian dan ketulusan makna cinta. Bukan sekadar gejolak perasaan yang bahkan bisa menguasai mengalahkan nalar bahkan nurani. Tapi kata temanku, cinta itu implementatif. Bahwa cinta itu akan membuat sang pencinta tumbuh menjadi lebih baik.

“apa arti cinta kalau ada pahit..lal la la la”
begitu lirik lagu yang sedang kudengar saat ini.

Tapi bagi saya pribadi, justru itulah ujian cinta. Pahit dan kegagalan dalam cinta adalah LABORATORIUM JIWA. Ini adalah hadiah kehidupan bagi jiwa, untuk belajar mencintai lebih kuat, lebih tulus kepada orang yang benar-benar layak menerimanya di suatu waktu dan biarlah menjadi rahasia Sang Maha Pengasih, Allah SWT. Kapan? Sampai anda benar-benar telah mampu mencintai … bertanya lagi, kapan? Maka mintalah pada ALLAH, mintalah di saat siang dan malam, mintalah dengan khusyuk, niscaya Dia akan mengabulkannya. Bukan begitu? (Mels )

Jumat, 18 Februari 2011

SEPEDA : alat transportasi murah dan sehat






ZIWY: my Zity Whity Sweety
Sepeda putih yang seringkali menemani menelusuri Petamburan - Abdul Muis (menuju kantor) terutama di hari Jumat. Tidak jarang juga, membersamai olah raga di hari Ahad mengelilingi GBK.

Sepeda, alat transportasi yang murah dan sehat.
murah: karena tidak perlu merogoh kocek Rp. 30.000,- untuk ojek PP Rusun - Kantor.

sehat: sekaligus membakar kalori dan menggerakkan otot-otot tubu.

Tapi sayang sekali, Jakarta belum cukup ramah untuk pengguna sepeda. Udara yang kotor menjadi ancaman pesepeda, belum lagi perilaku pengendara kendaraan bermotor lain yang masih ugal-ugalan. Pedestrian bahkan sering digunakan pengendara motor sebagai jalan alternatif saat macet. Hmm...ini yang menyebalkan.

Fasilitas parkir juga belum cukup memadai. Di Plasa Semanggi misalnya, parkir sepeda hanya cukup menampung tidak lebih dari 10 sepeda di tempat parkir. Padahal beberapa karyawan maupun pengunjungnya (terutama bagi pengunjug pusat kebugaran yang ada di dalamnya), membutuhkan fasilitas parkir sepeda.

Bagi saya, dan juga bagi pesepeda lainnya (perempuan pesepeda yang ber-bike to work) juga semakin bertambah jumlahnya. Membutuhkan rasa aman dan nyaman selama bersepeda. Infrastruktur seperti jalur khusus sepeda tentu perlu menjadi perhatian.

 Bersepada murah dan sehat, tapi seringkali juga para pesepada melalaikan keselamatan dan kesehatan diri sendiri (termasuk saya), yang tidak terbiasa memakai helm dan masker. Ini akan beresiko pada pernapasan dan jantung, sementara helm menjadi bentuk pencegahan besarnya risiko jika terjadi kecelakaan (waah semoga tidak deh)... sementara ini dulu, SELAMAT BERSEPEDA....

Kamis, 17 Februari 2011

LANGKAH AWAL PENGABDIAN KITA : beri kontribusi terbaik

Januari 2010
Kita akhirnya bertemu, diberi pengarahan oleh ibu Dra. Y. Puspito, MA sebagai ungkapan selamat datang dan bergabung di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau kita singkat KP3A. Masih ingat yah, saat nenteng ijazah legalisir untuk pemberkasan dan sedikit menggunakan ludah (jorok ahh..) supaya bisa menempelkan materei yang dikasi Teh Dwi ke kita-kita Gratiss..tiss (makasih yah Teh). Setelah prosesi ini, beberapa diantara kita nge-kost barengan. Mulai gank Bonjae, Tanabang, termasuk di kosan saya sekarang bersama Sri, Petamburan "Apartement" (gaya dikit, padahal aslinya rusun)






September atau Oktober 2010...(agak lupa..bantu ingatkan yah...)

Kita ikut Prajab bersama teman-teman kita dari Kemenegpora, Batan, Lapan, Bapenas, dan lain-lain.  tentunya juga bertemu Pak Onyx..hehehe..

Di sini kita bertemu teman baru, bertukar informasi, bertukar pengalaman, sekaligus sepertinya ada yg bertemu pacar baru (haha..ngarang kalo yang ini)

Hari-hari pun kita jalani dengan status CPNS 2009. Masing-masing kita menempati posisi sesuai penempatan. Saya sendiri sudah tiga kali ganti posisi: mulai di bagian KDRT, TKI dan sekarang di keasdepan Anak Berhadapan Hukum.Begitu juga teman-teman yang lain. Sri di Gender dan Hukum, Icha dan Vista di KPAI, Ine di rumah tangga, Pitra (selalu bareng nih), Deeta dan Yuda di Hukum, Ranti di Humas..begitu juga Armi, teteh Dwi, mbak ratna, mbak Dewi, Ifran, Ika, mbak Tesa, mbak Anggun, cahya dibaca Cahyo, DJ, siapa lagi yah?  oh iya, kita kehilangan mbak Iva..yahh sayang sekali..padahal potensinya luar biasa!

Di tempat masing-masing, kita mulai belajar...belajar tentang banyak hal...dari yang sederhana sampai yang rumit. Dari soal cara menyapa, senyum sampai belajar melihat senior kita membuat prosiding. agak rumit di awal memang, karena butuh banyak penyesuaian.Tidak sedikit dari kita mulai curhat-curhatan, tentang suasana baru...iya..kita belajar mengawali hari kita di KP3A. Sampai akhirnya semua muali disibukkan dengan aktivitas kegiatan: mulai dari sosialisasi, pertemuan-pertemuan, buat SPJ sampai dinas luar ke daerah.

KDRT : Pengaruhnya terhadap Perkembangan dan Proses Belajar Anak

TUNAIKAN HAK MEREKA; hak anak Indonesia

Tak seperti di siang hari, jalur Tanabang menuju Slipi biasanya sesak padat oleh kendaraan dan manusia dalam balutan aktivitas jual beli. Tapi tidak di malam itu, hanya beberapa kendaraan nampak melintas. Tak dijumpai lagi aktivitas jual beli, melainkan setumpuk sampah yang menggunung di mana-mana. Seharusnya di malam itu, fasilitas jalan dapat dinikmati para pengendara dengan aman, lancar, dan tanpa hambatan sesuai peruntukan penggunaannya. Tapi tidak di malam itu, sekumpulan anak laki-laki mencegat kendaraan yang melintas dan memaksa sebuah mobil untuk memutar arah. Pengendara yang tahu bahwa dirinya tidak bersalah dan melanggar peraturan jalan, pun dibuatnya bingung. Ada apa gerangan, kenapa sekumpulan anak kecil itu menghalau jalan mobil yang dikendarainya.
“ Pak, muter..pindah jalur..ke sebelah aja”
Pengendara mobil semakin bingung dibuatnya. Hardikan yang cukup berani oleh seorang anak kecil yang ditaksir berusia 10-an tahun. Yah, kalau mereka sekolah kira-kira sedang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
“lewat sebelah..!”
“cepetan! “
Semakin berani anak-anak itu menghalau kendaraan. Seperti gunung yang memuntahkan lahar, begitulah mereka mengekespresikan marah kepada pengendara mobil tadi. Tidak ada lagi kompromi, seperti kebanyakan laku mafia jalanan. Tidak ada lagi tawar menawar, seperti aktivitas jual beli pedagang di siang hari. Tidak mau tahu, begitu mungkin di benak mereka. Anak-anak ini menjadi begitu pemarah dan berprilaku kasar.
“Ahh..kami mau main bola di jalur ini...Bapak pindah jalur sebelah aja..tidak boleh lewat sini”, nadanya begitu menantang.
Ini hanya sepenggal cerita di sudut rimba raya Jakarta. Cerita tentang anak-anak yang terkikis karakter dan kehilangan kepribadian. Menjadi sarkastik, pemarah dan egois. Tapi patutkah mempersalahkan mereka?. Ketika kota ini menjadi tidak ramah dengan mereka. Tak ada lagi tempat bermain yang nyaman. Ruang waktu begitu tidak peduli dan bersahabat dengan anak-anak. Malam, saat untuk belajar dan beristirahat, menjadi tidak penting untuk mereka. Anak-anak itu ingin bermain, karena siang menuntut mereka menjadi kuli panggul, pedagang asongan, pengemis, pengamen, bahkan pencopet barangkali.
Taman, sebagai surga yang diimpikan oleh anak-anak untuk bermain ternyata tidak dapat dinikmati oleh mereka. Manusia dewasa menjadi sangat egois di mata anak-anak itu. Taman berubah menjadi tempat berprilaku mesum. Lihat saja Monas misalnya, tak layak jika disebut menjadi tempat bercengkrama keluarga di hari libur, terutama di malam hari. Taman Menteng, dengan tatanan apik berada di pusat kota seyogianya menjadi milik anak-anak. Tapi rasa-rasanya, lebih menarik dijadikan tempat foto pre-wedding atau iklan sejumlah produk. Lebih menarik lagi, taman yang berubah fungsi menjadi rumah. Stereotype kota Jakarta, dengan segala pernak perniknya menjadi tidak ramah terhada anak-anak. Ruang bermain beralih fungsi menjadi pusat pertokoan, mall, perumahan, tempat jualan. Namun di satu sisi, menguntungkan para pemilik modal untuk membuka usaha “ruang bermain anak” yang mudah di jumpai di beberapa mall. Suguhan game center, menjadi menarik untuk anak-anak, meski di dalamnya secara tidak langsung mengajarkan kekerasan. Anak dilatih akrab dengan perkelahian, pembunuhan, dan pemusnahan. Anak-anak yang berada di golongan kelas menengah ke bawah, dibidik oleh pemilik modal dengan menyediakan game center kecil-kecilan, cukup ada TV 21 Inc, serta perangkat play station. Fasilitas murah seperti ini akan sangat mudah didapatkan di sudut-sudut pasar tradisional, atau di sekitar sekolah. Selanjutnya, berjam-jam mereka duduktanpa bosan. Efek candu yang ditimbulkan, kadang memekasa mereka untuk berbohong, mencuri dan menipu.
Anak-anak adalah aset. Biarkan ia tumbuh dengan sempurna, sesuai tahapan perkembangannya. Mereka butuh sarana bermain yang aman dan sehat. Anak-anak adalah tumpuan harapan bangsa ini. Jangan biarkan karakter mereka terkikis karena ulah egois manusia dewasa. Berikan mereka ruang untuk tumbuh dan kelak menjadi bunga yang menyebarkan wangi. Tunaikan hak, anak-anak Indonesia.


Kado Kecil dari MEMEL untuk HARI ANAK NASIONAL

AYUNAN DI LAPAS ANAK: Karena uang dan kuasa bukan milik mereka

Gayus, siapa yang tidak mengenalnya saat ini.  Anak muda yang beken karena keterlibatannya pada kasus mafia perpajakan dengan jumlah fantastis, hingga menyeretnya menikmati  hari di hotel prodeo.  Ketenaran Gayus semakin lengkap sejak tertangkap kamera sedang plesiran ke Bali yang asik menyaksikan turnamen Tennis.  Artalita, perempuan ini juga pernah mewarnai sejumlah berita di media. Bukan karena dia seorang perempuan yang memiliki karya dan kontrubusi di tengah hiruk pikuk persoalan bangsa ini. Artalita mencuat di publik setelah kasus suap terhadap jaksa dan mafia peradilan.

Seperti halnya Gayus, Artalita menghebohkan publik dengan terbongkarnya kamar Artalita di hotel prodeo , berbeda dari kamar kebanyakan  yang disediakan untuk tahanan.  Luas kamarnya tak kurang dari 80 meter persegi, disekat menjadi dua bagian dan berpendingin udara. Seperangkat sofa kulit hitam, meja yang menampung sederetan toples kue, dan televisi diletakkan di area ruang tamu. Gayus dan Artalita, dua fenomena yang setidaknya bisa memberi gambaran realitas penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam proses penahanan.  Bagaimana dengan tahanan lain?

Di Indonesia, jumlah tahanan anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Permasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM, jumlah narapidana anak (anak didik permasyarakatan) dari 5.630 anak pada bulan maret 2008 meningkat menjadi 6.271 anak pada awal tahun 2010.  57 persen dari jumlah tahanan anak, ditempatkan bersama tahanan dewasa karena keterbatasan keberadaan rumah tahanan untuk anak.
Apa yang terjadi selanjutnya, Lapas anak dihuni melebihi kapsaitas ruang yang disediakan. Di salah satu Lapas anak misalnya, kapasitas 32 tahanan diisi oleh 69 tahanan anak.  Pantauan saya, satu ruangan berukuran kurang lebih 4x3 meter harus dihuni 10 sampai 12 tahanan anak (hanya ada 6 kamar untuk 69 tahanan anak dalam Lapas dimaksud).  Keterbatasan yang ada, mentut mereka untuk kreatif berbagi dan menciptakan “ruang tidur” baru.  Dinding kamar tahanan pun disulap menjadi tempat tidur. Bagaimana caranya?, sarung mereka dikumpulkan, diikat dan dibuat menjadi ayunan yang ditempelkan ke dinding. Dalam satu kamar, cukup menampung dua ayunan di dinding. Setiap malam, ada jadwal bergilir  untuk menikmati tidur di ayunan kamar tahanan yang sempit.

Anak, terlepas dari status mereka sebagai tahanan yang sedang menjalani proses untuk penegakan pemberian hukuman, mereka tetaplah anak yang masih memilki hak untuk hidup layak (setidaknya mendapatkan hak hidup yang layak di tahanan).  Sejenak saya berpikir, jika seandainya anak ini memiliki uang dan kekuasaaan mungkinkah mereka pun akan bisa menikmati privilege seperti Gayus dan Artalita?. Tapi sayang sekali, mereka bukanlah pelaku suap, mafia pajak dan bukan pula koruptor. Mereka sebagian besar adalah anak-anak yang berstatus tahanan karena mencuri jam, ayam, seliter beras atau dompet ibu-ibu yang sedang berbelanja di keramaian malam. Tindakan mereka tidak bisa dibenarkan memang, tapi mereka mencuri untuk tambal hidup semalam.

Jadi, privilege seperti yang didapatkan Gayus dan Artalita atau bahkan siapa saja serupa gayus dan Artalita, yang mungkin masih beruntung karena belum tersorot media, tidak akan mungkin dinikmati oleh anak-anak ini. Sebab, mereka tidak punya uang dan kekuasaan untuk mendapatkannya.
Jadi, tidak usah dulu kita jauh berbicara tentang bagaimana akses pendidikan akan diperoleh tahanan anak di Indonesia. Sejauh mana keadilan restorative bisa diimplementasikan dalam proses penanganan anak-anak yang berhadapan hukum demi kepentingan terbaik anak. Kalau ternyata, diskriminasi dalam proses penegakan hukum masih menggurita dan hanya menjadi permainan para pemilik uang dan kuasa!.

 ( Amelia )