Kamis, 17 Februari 2011

AYUNAN DI LAPAS ANAK: Karena uang dan kuasa bukan milik mereka

Gayus, siapa yang tidak mengenalnya saat ini.  Anak muda yang beken karena keterlibatannya pada kasus mafia perpajakan dengan jumlah fantastis, hingga menyeretnya menikmati  hari di hotel prodeo.  Ketenaran Gayus semakin lengkap sejak tertangkap kamera sedang plesiran ke Bali yang asik menyaksikan turnamen Tennis.  Artalita, perempuan ini juga pernah mewarnai sejumlah berita di media. Bukan karena dia seorang perempuan yang memiliki karya dan kontrubusi di tengah hiruk pikuk persoalan bangsa ini. Artalita mencuat di publik setelah kasus suap terhadap jaksa dan mafia peradilan.

Seperti halnya Gayus, Artalita menghebohkan publik dengan terbongkarnya kamar Artalita di hotel prodeo , berbeda dari kamar kebanyakan  yang disediakan untuk tahanan.  Luas kamarnya tak kurang dari 80 meter persegi, disekat menjadi dua bagian dan berpendingin udara. Seperangkat sofa kulit hitam, meja yang menampung sederetan toples kue, dan televisi diletakkan di area ruang tamu. Gayus dan Artalita, dua fenomena yang setidaknya bisa memberi gambaran realitas penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam proses penahanan.  Bagaimana dengan tahanan lain?

Di Indonesia, jumlah tahanan anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Permasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM, jumlah narapidana anak (anak didik permasyarakatan) dari 5.630 anak pada bulan maret 2008 meningkat menjadi 6.271 anak pada awal tahun 2010.  57 persen dari jumlah tahanan anak, ditempatkan bersama tahanan dewasa karena keterbatasan keberadaan rumah tahanan untuk anak.
Apa yang terjadi selanjutnya, Lapas anak dihuni melebihi kapsaitas ruang yang disediakan. Di salah satu Lapas anak misalnya, kapasitas 32 tahanan diisi oleh 69 tahanan anak.  Pantauan saya, satu ruangan berukuran kurang lebih 4x3 meter harus dihuni 10 sampai 12 tahanan anak (hanya ada 6 kamar untuk 69 tahanan anak dalam Lapas dimaksud).  Keterbatasan yang ada, mentut mereka untuk kreatif berbagi dan menciptakan “ruang tidur” baru.  Dinding kamar tahanan pun disulap menjadi tempat tidur. Bagaimana caranya?, sarung mereka dikumpulkan, diikat dan dibuat menjadi ayunan yang ditempelkan ke dinding. Dalam satu kamar, cukup menampung dua ayunan di dinding. Setiap malam, ada jadwal bergilir  untuk menikmati tidur di ayunan kamar tahanan yang sempit.

Anak, terlepas dari status mereka sebagai tahanan yang sedang menjalani proses untuk penegakan pemberian hukuman, mereka tetaplah anak yang masih memilki hak untuk hidup layak (setidaknya mendapatkan hak hidup yang layak di tahanan).  Sejenak saya berpikir, jika seandainya anak ini memiliki uang dan kekuasaaan mungkinkah mereka pun akan bisa menikmati privilege seperti Gayus dan Artalita?. Tapi sayang sekali, mereka bukanlah pelaku suap, mafia pajak dan bukan pula koruptor. Mereka sebagian besar adalah anak-anak yang berstatus tahanan karena mencuri jam, ayam, seliter beras atau dompet ibu-ibu yang sedang berbelanja di keramaian malam. Tindakan mereka tidak bisa dibenarkan memang, tapi mereka mencuri untuk tambal hidup semalam.

Jadi, privilege seperti yang didapatkan Gayus dan Artalita atau bahkan siapa saja serupa gayus dan Artalita, yang mungkin masih beruntung karena belum tersorot media, tidak akan mungkin dinikmati oleh anak-anak ini. Sebab, mereka tidak punya uang dan kekuasaan untuk mendapatkannya.
Jadi, tidak usah dulu kita jauh berbicara tentang bagaimana akses pendidikan akan diperoleh tahanan anak di Indonesia. Sejauh mana keadilan restorative bisa diimplementasikan dalam proses penanganan anak-anak yang berhadapan hukum demi kepentingan terbaik anak. Kalau ternyata, diskriminasi dalam proses penegakan hukum masih menggurita dan hanya menjadi permainan para pemilik uang dan kuasa!.

 ( Amelia )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar