Kamis, 24 Februari 2011

POLA ASUH DEMOKRATIS; mendidik anak menjadi cerdas


“ kaaakk.. jangan ke sana..panas! ”
“Dek..turun! nanti jatuh..”
“ duduk!”
“ awas, jangan main kotor lagi”

Perintah dan larangan, ini yang seringkali menjadi senjata seorang ibu dalam pola asuh yang diterapkan. Harus begini, jangan begitu , dan tidak ada kompromi. Titik!. Bukan tanpa dasar, pola asuh seperti di atas sebagai bentuk besarnya perhatian dan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Kuatir jika terjadi bahaya menimpa si kecil, sehingga tindakan preventif sangat perlu dilakukan. Hanya saja ibu lebih banyak melakukannya dengan dua hal tadi: perintah dan larangan.

Pada proses tumbuh kembang anak, factor pola asuh yang diterapkan ibu akan sangat berpengaruh. 50 persen seluruh potensi manusi terbentuk ketika anak masih dalam kandungan, selanjutnya 30 persen terbentuk saat anak berusia 4-8 tahun. Dapat disimpulkan, kontribusi ibu dalam hal pola asuh akan sangat bersar dan signifikan perannya. Tentu saja!. Itulah barangkali selalu disebut jikalau ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.

Usia antara 2-6 tahun, anak meminta haknya untuk dipercaya menajdi mandiri. Mereka akan senang kalau diberi kesempatan menetukan pilihannya sendiri. Inilah saat dimana anak senang bereksperimen, suka mencoba-coba , suka bertanya, dan besar rasa ingin tahunya. Mereka butuh kemerdekaan!.

Beberapa referensi menyebutkan, bahwa keluarga yang terbiasa dengan kultur demokratis cenderung memiliki anak-anak yang tumbuh menjadi manusia cerdas dan berhasil dalam menata kehidupannya. Kenapa?, di usia penting pertumbuhannya, keluarga (terutama ibu) memberikan pola asuh yang tidak sekadar perintah dan larangan saja. Anak diberi ruang untuk tumbuh merdeka dan mandiri. Anak memiliki kemerdekaan untuk beruji coba, menyelidiki sesuatu, menjelajah suatu tempat sehingga anak tidak pernah diam tapi selalu aktif. Peran ibu mengarahkan.

Dalam prinsip daur belajar, proses melakukan adalah tahapan awal untuk masuk pada tahapan selanjutnya. Melakukan sebagai tahapan bagi anak untuk menyelami dan mengalami sendiri, sebagai suatu pengalaman. Di tahapan ini, anak sebaiknya diajak menguji coba sesuatu (penelitian sederhana), menyentuh suatu objek, bermain peran atau sekadar jalan-jalan menjelajah suatu tempat. DI sini anak akan merasakan langsung apa yang mereka alami dalam proses sebelumnya. Biarkan mereka mengungkapkan apa yang telah dialamai dan dirasakan dalam proses tadi. Biarkan mereka mengeksplorasi dengan bahasa sederhana dengan kemampuan kosa kata yang mereka kuasai. Sepertinya, anak anda menjadi cerewet. Biarkan saja, ini proses menuju pengetahuan, Hingga akhirnya biar anak sendiri lah yang menyimpulkan pengalaman belajarnya dari tahapan-tahapan belajar yang telah dilalui. Menyenangkan!.

Biakan mereka banyak menyentuh (selama objek yang disentuhnya tidak membahayakan), karena keterampilan tangan adalah jendela menuju pengetahuan. Asah perkembangan motorik anak dengan mengajak mereka melakukan serangkaian aktivitas sederhana. Memindahkan kelereng dengan sendok dari mangkuk misalnya, atau ajak belajar menuangkan air di gelas minumnya sendiri. Untuk motorik kasar, bisa dilatih dengan mengajak anak out bond sederhana di pekarangan rumah. Jika ada pohon jambu yang rantingnya tidak terlalu tinggi, tantang anak anda untuk memanjatnya, ini akan baik utk anak belajar latihan koordinasigerak tubuh. Tentu saja, Mereka akan merasa dihargai dengan tantangan tadi!.

Ibu yang bijak, belajarlah untuk mengapresiasi potensi anak. Biarkan mereka tumbuh merdeka di ruang bebas. Sekadar perintah dan larangan adalah bentuk kasih sayang yang kurang tepat. Untuk menerapkan ini, tentu saja diawali komitmen untuk menerapkan pola asuh yang demokratis di rumah. Ingat, bahwa rumah adalah tempat anak tumbuh dan berkembang potensinya lebih dominan, bukan di sekolah. (Amelia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar