Minggu, 14 Agustus 2011

RAMADHAN : MOMENTUM "MENJUAL" ISLAM

Sirup pisang ambon akan sangat mudah dijumpai di Makassar saat bulan Ramadhan.  Hampir setiap warung akan menjual sirup yang dikonsumsi rata-rata sebotol untuk empat hari di masing-masing rumah. Sirup ini teridentikkan dengan aneka ta’jil di bulan Ramadhan, mulai pisang ijo, es buah sampai pallu butung atau sekadar  penambah manis es kelapa muda. Citra Ramadhan dan sirup berwarna merah ini semakin mengakar di masyarakat, sehingga di luar bulan Ramadhan sirup ini tidak akan selaku di bulan puasa.  Kalau bisa bisa dibilang masyaraka seperti ini: Ramadhan tak lengkap tanpa sirup pisang ambon.  Entah bagaimana pencitraan sirup ini begitu mengakar di masyarakat. Sama halnya ketika masyarakat Indonesia memiliki perspektif, bahwa Ramadhan tidak lengkap tampa kolak sebagai ta’jil. Sehingga di stasiun televisi menyiarkan khusus aneka kolak dari berbagai daerah,  resep cara pembuatan kolak sampai tayangan informasi  kehidupan selebritas tak lepas dari pembicaraan tentang kolak.
Salah satu sunnah yang dianjurkan saat berbuka puasa adalah diawali dengan sesuatu yang manis. Dalam konteks Indonesia, manis dikaitkan dengan segala kuliner yang rasanya manis.  Rasa manis ini kemudian dianggap sebagai kebutuhan puasa masyarakat muslim, sehingga ramailah produk makanan manis dipropagandakan sebagai ta’jil saat berbuka puasa. Teh, sirup aneka rasa, minuman serbuk,  gula, sampai semua produk yang dinilai manis akan membuat iklan khusus edisi Ramadhan. 
Tidak hanya sekadar manis,  peluang pasar akan kebutuhan berpuasa semakin dikembangkan. Haus setelah seharian berpuasa adalah peluang yang sangat tepat untuk melahirkan kebutuhan baru. Minuman dingin dipropagandakan secara apik.  Dari haus berkembang kebutuhan lain,  tubuh yang berpuasa tidak hanya sekadar haus tetapi kehilangan banyak ion tubuh. Sehingga muncullah propaganda aneka minuman isotonik atau minuman ber-ion yang tampil dengan pesan menghindari dehidrasi saat berpuasa. Semantara segmentasi peluang lapar saat berpuasa beda lagi, maka mun cullah produk-produk makanan yang dianggap pas untuk berbuka. Propagandanya untuk peluang kebutuhan lapar tak kalah semarak, mulai dari bumbu masak yang pas untuk menu buka, minyak goreng untuk berbuka, margarin untuk masak makanan berbuka, mie instan untuk berbuka praktis saat di jalan, makarel siap saji, sampai sosis pun dipropagandakan sebagai hidangan pas saat berbuka untuk anak-anak. Sahur  juga punya segmentasi peluang pasar juga, kebanyakan masyarakat Indonesia memiliki keluhan sakit maag saat berpuasa.  Menyikapi kebutuhan ini, dihadirkanlah obat khusus pencegah penyakit maag yang pas diminum saat sahur. Segala kebutuhan berpuasa di bulan Ramadhan dianggap sebagai peluang pasar yang menarik. Lebih menariknya lagi, yang awalnya emmenuhi kebutuhan pasar berkembang dengan menciptakan kebutuhan pasar. Lahirlah produk-produk yang seakan-akan dibutuhkan pada saat ramadhan. Bahkan cenderung membentuk identifikas  baru akan kebutuhan masyarakat saat berpuasa.
Propoganda dalam memenuhi kebutuhan pasar maupun menciptakan kebutuhan baru di pasar dihadirkan melalui  iklan.  Seiring perkembangan kreativitas pelaku media, iklan dihadirkan sangat menarik dan mencoba membuat kaitan antara Ramahdan dan produk yang ditawarkan. Dapat kita lihat bagaimana sikap altruisme yang perlu dikembangkan sebagai sikap postif di bulan Ramadhan, dikaitkan dengan salah satu provider jaringan seluler. Margarin akan dikaitkan dengan  orang yang sakit saat berpuasa. Sampai yang kelihatannya terkesan dipaksakan, seperti cat tembok yang dikaitkan dengan Ramadhan. Iklannya pun dimulai dengan warna wani sajadah muslimah yang sedang shalat. Penonton diakhir tayangan iklan biasanya baru bisa menangkap pesan produk yang diiklankan sambil berucap “Oo..iklan itu toh?”
Ramadhan  menjadi momentum peluang pasar yang menggiurkan. Segala yang berkaitan dengan Ramadhan dan islam akan dikaitkan atau berusaha dikait-kaitkan dengan berbagai produk-produk seperti contoh yang telah diceritakan di atas. Simbol-simbol maupun pencitraan Islam akan sangat mudah dijumpai pada tayangan iklan: kopiah, sajadah, mukena, tarwih, buka puasa. Belum lagi tradisi baru sebagai tren muslim kota dipropagandakan  dengan apik dan dianggap tak lepas dari Ramadhan, Idul fitri dan Ummat Islam: ngabuburit, bedug maghrib, mudik dan serupanya. Iklan-iklan seperti ngabuburit dengan nelpon hemat, mudik aman dan tidak capek dengan minuman berenergi, sampai oli yang pas saat berkendara di saat mudik hadir ditawarkan untuk masyarakat Muslim di Indonesia.
Bagi saya wajar saja, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim yang signifikan jumlahnya. Boleh dibilang, sasaran pasar yang menggiurkan untuk produk-produk yang berkaitan dengan islam dan aktivitas keberagamaan. Hasilnya, banyak produk yang ‘diislam-islamkan”. Ramadhan menjadi momentum “menjual” Islam melalui berbagai iklan baik di media cetak, televisi maupun maya (online). 
Pemilik modal yang cerdas, akan mampu melihat peluang pasar ini sebagai sesuatu yang prospektif. Muatan islam tidak semurninya dipropagandakan dengan maksud mensyiarkan Islam, tetapi mempropagandakan Islam sebagai jualan yang marketable.
Nah, ini akan memiliki pengaruh terhadap daya konsumsi masyarakat Muslim Indonesia yang akan sangat membengkak di Bulan Ramadhan. Maunya beli ini dan itu, karena dianggap sebagai bagian dari pelengkap ibadah ramadhan. Masyarakat Muslim menjadi sangat komnsumtif dengan menghabiskan banyak uang untuk berbelanja di bulan Ramadhan.  Sehingga tidak banyak rumah tangga perlu mengalokasikan dana tambahan yang tidak sedikit untuk keperluan Ramadhan. Kita barangkali masih ingat, bahwa puasa adalah media pembelajaran yang dimaksudkan untuk mendidik Muslim menahan diri. Salah satu sifat menahan diri di sini adalah tidak mengikuti hawa nafsu untuk bersikap boros dan membelanjakan harta secara berlebih-lebihan.  Berpuasa adalah momentum untuk melatih kesederhanaan dengan ikut merasakan bagaimana kaum dhuafa menahan lapar dan haus.  Semoga saja, kita bisa kembali makna awal bulan Ramadhan dengan bersikap sederhana dan membelanjakan harta sekadarnya saja kecuali dengan banyak bersedekah di jalan Allah. Wallahu a’lam” (Amelia, Istiqlal -11.30 14 Agustus 2011)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar