Rabu, 17 Agustus 2011

CATATAN SAAT BERTAMU DI RUMAHNYA 3: BERKARYA TIDAK MENGENAL USIA

Di pertengahan rakaat kedua Nenek Yus hampir terjatuh, tubuhnya oleng karena lututnya sakit hingga tak kuat berdiri. Di akhir salam Nek Yus meminta maaf kepadaku yang bnerdiri di sebelah kanannya, kami berdua hampir terjatuh karena lengan kanannya refleks menyambar lengan kiriku.  Saya sarankan agar Nek Yus shalat duduk saja, tapi tetap beliau bersikukuh shalat berdiri. Saat ceramah tiba berceritalah Nek Yus yang sepanjang siang tadi mencari warnet atau jasa rental komputer.
“tadi siang saya keluar masjid keliling cari warnet, tidak ketemu”
Sama dong nek, saya cari-cari jaringan internet gratis tapi gak ketemu-ketemu juga, lama gak update status dan baca berita.. :D. “ Mau apa Nek?”
“Buku  Nenek sudah mau cetak, tapi penerbit minta tulisannya diketik”
Sambil memperlihatkan buku bersampul hijau yang sangat tebal. Isinya sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an. Pikirku, kalau pun tadi ketemu warnet atau jasa pengetikan pasti ditolak karena tulisan Nenek Yus terlalu indah untuk bisa dibaca, tulisan khas orang-orang tempo doeloe. Tetapi menariknya, meski ditulis tangan, tak satupun terdapat coretan dalam buku itu. Rapi, bersih dan teratur. Coba saja bandingkan dengan tulisan tanganku, aihh jadi malu sendiri.
“besok nenek mau keliling lagi mencari warnet”
“tidak usah nek..tidak usah... saya bawa laptop, nanti saya ketikkan”
“Ini banyak nak, nanti ganggu pekerjaan kamu”
“Setiap nginap di sini saya bawa laptop Nek, jadi nanti sebelum tidur sehabis tarwih kita kerjakan dulu ketikan ini sama-sama Nek”
“ Alhamdulillah, Allah beri kemudahan...makasih yah nak..niatkan sebagai ibadah..wah harus saya ganti dengan apa?”
“ganti dengan do’a saja Nek, doakan saya yah juga Nek itu sudah jadi imbalan laur biasa”

Begitulah perbincangan malam tadi dengan nenek Yus, nenek yang sudah tua dan telah saya ceritakan pada beberapa tulisan sebelumnya.  Semangatnya berburu pahala di bulan ramadhan ini dengan tubuh ringkih seharusnya membuat anak muda yang gagah tampilan fisiknya harus malu, yaah termasuk saya lah. Setelah membaca sekilas muqaddimah naskah buku tersebut, inilah yang membuat saya terkagum sekaligus malu pada semangat Nenek Yus untuk tetap berkarya di usia senja. Berikut sedikit kutipan muqaddimah dari buku Nenek Yus “Taubatlah Sebelum Datang Siksa”.
...
Saya bukanlah pengarang buku atau penterjemah Al Qur’an dan bukan pula jebolan pesantren, tetapi hati kecil saya sudah lama terpanggil untuk berbagi ilmu yang saya pelajari dari terjemahan Az Zikra kepada siapa yang mau membaca buku ini,  di usia ke-70 tahun inilah baru saya lakasanakan cita-cita saya sebagai warisan buat generasi muda muda. Beberapa ayat ada kaitannya satu sama lain yang terdapat dalam beberapa surat, saya pilah-pilah dan saya pilih-pilih, saya `  kelompokkan jadi satu-satu judul supaya mudah dipahami, terutama bagi yang awam.
Dalam hal ini tidaklah saya mengambil keuntungan kecuali semata-mata mengharap ridha Allah SWT untuk mengampunkan dosa-dosa saya. Semoga saya dipanggil dalam keadaan Husnul Khatimah dan dengan ilmu yang bermanfaat ini, mudah-mudahan Allah SWT memasukkan saya kedalam kelompok orang-orang  shalihin yang dicintaiNya untuk mendapatkan syurga Allah. Aamiin yaa rabbal’alamiin.
Semoga semangat Nenek Yus tertular ke kita juga, ayo berkarya!

Minggu, 14 Agustus 2011

RAMADHAN : MOMENTUM "MENJUAL" ISLAM

Sirup pisang ambon akan sangat mudah dijumpai di Makassar saat bulan Ramadhan.  Hampir setiap warung akan menjual sirup yang dikonsumsi rata-rata sebotol untuk empat hari di masing-masing rumah. Sirup ini teridentikkan dengan aneka ta’jil di bulan Ramadhan, mulai pisang ijo, es buah sampai pallu butung atau sekadar  penambah manis es kelapa muda. Citra Ramadhan dan sirup berwarna merah ini semakin mengakar di masyarakat, sehingga di luar bulan Ramadhan sirup ini tidak akan selaku di bulan puasa.  Kalau bisa bisa dibilang masyaraka seperti ini: Ramadhan tak lengkap tanpa sirup pisang ambon.  Entah bagaimana pencitraan sirup ini begitu mengakar di masyarakat. Sama halnya ketika masyarakat Indonesia memiliki perspektif, bahwa Ramadhan tidak lengkap tampa kolak sebagai ta’jil. Sehingga di stasiun televisi menyiarkan khusus aneka kolak dari berbagai daerah,  resep cara pembuatan kolak sampai tayangan informasi  kehidupan selebritas tak lepas dari pembicaraan tentang kolak.
Salah satu sunnah yang dianjurkan saat berbuka puasa adalah diawali dengan sesuatu yang manis. Dalam konteks Indonesia, manis dikaitkan dengan segala kuliner yang rasanya manis.  Rasa manis ini kemudian dianggap sebagai kebutuhan puasa masyarakat muslim, sehingga ramailah produk makanan manis dipropagandakan sebagai ta’jil saat berbuka puasa. Teh, sirup aneka rasa, minuman serbuk,  gula, sampai semua produk yang dinilai manis akan membuat iklan khusus edisi Ramadhan. 
Tidak hanya sekadar manis,  peluang pasar akan kebutuhan berpuasa semakin dikembangkan. Haus setelah seharian berpuasa adalah peluang yang sangat tepat untuk melahirkan kebutuhan baru. Minuman dingin dipropagandakan secara apik.  Dari haus berkembang kebutuhan lain,  tubuh yang berpuasa tidak hanya sekadar haus tetapi kehilangan banyak ion tubuh. Sehingga muncullah propaganda aneka minuman isotonik atau minuman ber-ion yang tampil dengan pesan menghindari dehidrasi saat berpuasa. Semantara segmentasi peluang lapar saat berpuasa beda lagi, maka mun cullah produk-produk makanan yang dianggap pas untuk berbuka. Propagandanya untuk peluang kebutuhan lapar tak kalah semarak, mulai dari bumbu masak yang pas untuk menu buka, minyak goreng untuk berbuka, margarin untuk masak makanan berbuka, mie instan untuk berbuka praktis saat di jalan, makarel siap saji, sampai sosis pun dipropagandakan sebagai hidangan pas saat berbuka untuk anak-anak. Sahur  juga punya segmentasi peluang pasar juga, kebanyakan masyarakat Indonesia memiliki keluhan sakit maag saat berpuasa.  Menyikapi kebutuhan ini, dihadirkanlah obat khusus pencegah penyakit maag yang pas diminum saat sahur. Segala kebutuhan berpuasa di bulan Ramadhan dianggap sebagai peluang pasar yang menarik. Lebih menariknya lagi, yang awalnya emmenuhi kebutuhan pasar berkembang dengan menciptakan kebutuhan pasar. Lahirlah produk-produk yang seakan-akan dibutuhkan pada saat ramadhan. Bahkan cenderung membentuk identifikas  baru akan kebutuhan masyarakat saat berpuasa.
Propoganda dalam memenuhi kebutuhan pasar maupun menciptakan kebutuhan baru di pasar dihadirkan melalui  iklan.  Seiring perkembangan kreativitas pelaku media, iklan dihadirkan sangat menarik dan mencoba membuat kaitan antara Ramahdan dan produk yang ditawarkan. Dapat kita lihat bagaimana sikap altruisme yang perlu dikembangkan sebagai sikap postif di bulan Ramadhan, dikaitkan dengan salah satu provider jaringan seluler. Margarin akan dikaitkan dengan  orang yang sakit saat berpuasa. Sampai yang kelihatannya terkesan dipaksakan, seperti cat tembok yang dikaitkan dengan Ramadhan. Iklannya pun dimulai dengan warna wani sajadah muslimah yang sedang shalat. Penonton diakhir tayangan iklan biasanya baru bisa menangkap pesan produk yang diiklankan sambil berucap “Oo..iklan itu toh?”
Ramadhan  menjadi momentum peluang pasar yang menggiurkan. Segala yang berkaitan dengan Ramadhan dan islam akan dikaitkan atau berusaha dikait-kaitkan dengan berbagai produk-produk seperti contoh yang telah diceritakan di atas. Simbol-simbol maupun pencitraan Islam akan sangat mudah dijumpai pada tayangan iklan: kopiah, sajadah, mukena, tarwih, buka puasa. Belum lagi tradisi baru sebagai tren muslim kota dipropagandakan  dengan apik dan dianggap tak lepas dari Ramadhan, Idul fitri dan Ummat Islam: ngabuburit, bedug maghrib, mudik dan serupanya. Iklan-iklan seperti ngabuburit dengan nelpon hemat, mudik aman dan tidak capek dengan minuman berenergi, sampai oli yang pas saat berkendara di saat mudik hadir ditawarkan untuk masyarakat Muslim di Indonesia.
Bagi saya wajar saja, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim yang signifikan jumlahnya. Boleh dibilang, sasaran pasar yang menggiurkan untuk produk-produk yang berkaitan dengan islam dan aktivitas keberagamaan. Hasilnya, banyak produk yang ‘diislam-islamkan”. Ramadhan menjadi momentum “menjual” Islam melalui berbagai iklan baik di media cetak, televisi maupun maya (online). 
Pemilik modal yang cerdas, akan mampu melihat peluang pasar ini sebagai sesuatu yang prospektif. Muatan islam tidak semurninya dipropagandakan dengan maksud mensyiarkan Islam, tetapi mempropagandakan Islam sebagai jualan yang marketable.
Nah, ini akan memiliki pengaruh terhadap daya konsumsi masyarakat Muslim Indonesia yang akan sangat membengkak di Bulan Ramadhan. Maunya beli ini dan itu, karena dianggap sebagai bagian dari pelengkap ibadah ramadhan. Masyarakat Muslim menjadi sangat komnsumtif dengan menghabiskan banyak uang untuk berbelanja di bulan Ramadhan.  Sehingga tidak banyak rumah tangga perlu mengalokasikan dana tambahan yang tidak sedikit untuk keperluan Ramadhan. Kita barangkali masih ingat, bahwa puasa adalah media pembelajaran yang dimaksudkan untuk mendidik Muslim menahan diri. Salah satu sifat menahan diri di sini adalah tidak mengikuti hawa nafsu untuk bersikap boros dan membelanjakan harta secara berlebih-lebihan.  Berpuasa adalah momentum untuk melatih kesederhanaan dengan ikut merasakan bagaimana kaum dhuafa menahan lapar dan haus.  Semoga saja, kita bisa kembali makna awal bulan Ramadhan dengan bersikap sederhana dan membelanjakan harta sekadarnya saja kecuali dengan banyak bersedekah di jalan Allah. Wallahu a’lam” (Amelia, Istiqlal -11.30 14 Agustus 2011)



Jumat, 12 Agustus 2011

HARAP DAN TAKUT : Harus jalan Bergandengan


HARAP DAN TAKUT: Jalannya Bergandengan
Seperti yang saya ceritakan dalam tulisan sebelumnya (Allah Maha Baik: saat bertamu di rumahNya), saya berkenalan dengan seorang ibu tua yang sederhana namun gurat cahaya keshalihan tampak di raut wajahnya yang keriput. Setelah “libur” sepekan, masih dalam rangka sebagai tamu saya bertemu kembali dengan ibu itu semalam.
“waah, lama tidak ketemu ibu” sambil mencium tangannya
Ibu tadi hanya tersenyum, memamerkan ujung gigi bagian tengahnya. Senyum bersahaja dan menghangangatkan bagi lawan bicaranya.

“barusan dari Bandung” dijawab dengan suara kecil hampir tak terdengar
“Jadi selama saya tidak ke sini Ibu di bandung”
“Tidak, bolak balik...langsung pulang”
“waahh, ada urusan penting yah bu?”
Di dalam hati, urusan penting yang saya duga ada keluarga ibu tadi yang meninggal atau sakit.
“cuma mengantarkan naskah tulisan yang mau diketik oleh penerbit untuk diterbitkan”
Datar ibu tadi menerangkan dan saya sendiri cuma diam karena tidak sangka dengan penjelasannya barusan. Pikirku, sudah setua itu tapi ibu tadi masih mau berkarya. Dari tampilan luarnya tidak mudah ditebak bahwa ibu ini seorang penulis atau setidaknya mampu menulis (ini satu pelajaran juga untuk tidak menilai kapasitas seseorang dengan melihat tampilan luarnya saja)

“Buku apa bu?” , saya bertanya pelan
“ Judulnya.... TAUBAT SEBELUM DATANG SIKSA”
Glekk, saya tertegun dan menelan ludah sambil mengulang dalam hati judul yang tadi disebutkan.
Taubat sebelum datang siksa, sangar sekali kedengarannya judul itu. Otak saya langsung mengasosiasikan kata siksa dengan neraka, api, cambukan, kesaksian, jeritan, nanah, dan asosiasi mengerikan lainnya. Seperti di waktu SD Ibu Guru Agama membandingkan soal indahnya surga dan pedihnya neraka. Lalu sekian tahun saya belajar soal isu-isu kontemporer, masalah keagamaan yang lebih kontekstual, islam yang humanis, kesatuan ummat islam, sampai perjuangan islam. Sekian tahun mempelajarinya seakan memompa heroisme beragama. Hingga saat ibu itu kembali menyebutkan judul yang mengingatkan pada pelajaran SD, saya sedikit melirik dan berucap lirih dalam hati, Judul ini sangar kedengarannya tapi sangat kontekstual.
“Peliharalah dirimu dari Neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah: 24)
“Maka Kami memperingatkan kamu dengan Neraka yang menyala-nyala” (Al Lail: 14)
Seringkali kita lebih banyak ditawarkan sekaligus diajarkan tentang ayat-ayat HARAPAN. Pelajaran ini memotivasi meningkatnya kuantitas dan kualitas ibadah bahkan membakar heroisme beragama kita. Surga adalah kado bagi penggiat ibadah, sebagai motivasi yang mendorong segala aktivitas ibadah dan aktivitas keberagamaan kita. Namun, manusia sebagaimana janji syaithan adalah objek yang akan terus digoda untuk tersesat. Godaan ini akan datang dari depan, belakang, kiri dan kanan. Sehingga terjerumusnya manusia untuk terjebak dalam lubang dosa dan kemaksiatan termasuk perbuatan keji dan kedzaliman adalah tidak mungkin akan terbebas dari manusia, kecuali jika manusia menjadikan do’a sebagai senjatanya. Peluang untuk terjebak dan menjadi pengikut-pengikut syaithan akan sangat mungkin terjadi pada manusia. Iming-iming kado, menimbulkan persepsi sendiri bagi manusia, jika kadonya tidak diambil tidak masalahkan?.
Padahal kita lupa, bisa saja kado tidak kita ambil jika tidak mengikuti apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Tetapi manusia lupa bahwasanya ada konsekuensi yang melekat ketika kado tersebut tidak diambil. Secara otomatis, menolak kado surga berarti menginginkan kepedihan neraka. Kita asik dengan ayat-ayat harapan, tentang indahnya surga dan apa yang harus kita lakukan untuk meraihnya. Kita lupa, bahwa ada neraka yang memang telah diciptakan Allah untuk hambaNya yang ingkar. Seakan-akan kita menepiskan kehadiran neraka dengan siksaan yang sudah disiapkan sepaket. Akhirnya kita pun memiliki harapan besar tapi tidak dibarengi dengan rasa takut. Saya sendiri akhirnya menyadari, bahwa harap dan takut harus berjalan bergandengan.
Rsa takut inilah yang akan memelihara kita, menjauhkan manusia dari kemungkinan-kemungkinan godaan syaithan untuk menjerumuskan manusia. Pada dasarnya manusia memiliki tabiat untuk takut pada sesuatu, jika rasa takut terhadap sesuatu ada, manusia cenderung akan menjauhi apa yang ditakutinya. (15082011)

Rabu, 03 Agustus 2011

ALLAH MAHA BAIK : SAAT BERTAMU DI RUMAHNYA


Tersebutlah saya yang sejak hari pertama selalu saja sahur sendiri, begitu juga berbuka (ifthar). Sungguh tak enak. Jam pulang kantor yang lebih cepat tentu bukan hadiah menarik bagi penghuni rumah tak berkeluarga sepertiku di Ramadhan berkah ini, sehingga belajar mengaji dengan ustadz dari Madinah di suatu masjid , jadi pilihan yang paling pas untuk mengumpulkan pahala ramadhan sekaligus menghindari rumah yang sepi.
Waktu berbuka tiba, di sampingku ada ibu tua dengan penampilan sederhana dibanding ibu-ibu lain di masjid mentereng ini ikut berbuka bersama. “Bu, ini ada kue..kalau Ibu mau silahkan”. Percakapan dimulai, saya pun akhirnya mendengar cerita dari ibu ini:
“ Saya nginap di masjid ini, InsyAllah 30 hari”
“wah, emang udah bisa itikaf yah bu?” selaku

“Sepi, rumah saya besar dan saya Cuma sendiri. Suami baru saja meninggal, anak saya bekerja di Makassar. Saya udah niatkan tinggal di masjid 30 hari. Setelah survey beberapa masjid, ini yang paling kondusif. Anak saya yang mengantar ke masjid ini dan menitipkan ke security masjid kalau ibunya bukan gelandangan. Saya sudah bawa persiapan lengkap, malah kemarin bawa bekal sahur banyak tapi karena di sini disediakan sahur jadi saya bagikan saja ke anak muda di sini”
Setelah kami menikmati menu berbuka
“sini bu, sampahnya saya buang”
“Ohiya, saya juga dari Makassar Bu.... Keluarga saya juga tak di sini. Kemarin sahur dan berbuka sendiri. Emm, bisa gak Bu saya temani ibu nginap di sini?”

Ibu tadi tersenyum
“Iya ayo nak, tidur di sini saja.. Nanti beribadah semalaman di sini. Kita pinjam loker satu lg untuk simpan barang-barang kamu”
Diam
“ehh Adzan nak, kita shalat dulu...semoga Allah merahmatimu....kalo belum menikah, semoga Allah memberimu jodoh yang shalih, kamu anak yang baik”
Tersanjung, tuing!
Tarwih di masjid ini cukup lama, 20 rakaat dengan 1 juz setiap malam. Saya dan ibu tadi Cuma mengambil 8 rakaat ditambah 3 witir.
“Nak, rasulullah dulu mengerjakan 8 rakaat saja, namun ada sahabat mengerjakan 20...tapi Rasulullah tidak melarang”
Saya menangkap pesan, ibu tadi dalam kesederhanaannya mengerti dan paham tentang Islam.
Lau larutlah kami dalam syahdu lantunan ayat-ayat Allah di masjid yang penuh manusia dengan segala tabiatnya. Tradisi muslim kota meramaikan tarwih sepertinya jadi pemandangan yang dapat dijumpai di masjid-masjid kota ini. Berbeda sekali dengan pemandangan saat shalat fardhu di luar bulan Ramadhan. Tak apalah, ramadhan menjadi momentum rekreasi dan penyegaran spritual muslim kota, disyukuri sajalah sebagai sebuah tradisi yang baik.
Tidak hanya ibu tadi, di malam itu ada beberapa ibu-ibu tua lainnya. Tepatnya kalau saya sebut nenek. Di sebelah, saya ternyata ada seorang ibu dengan perlengakapan amunisi super lengkap. Segala makanan udah dibawa. Ibu ini lain lagi, punya anak 3 dan semua sudah berkeluarga. Sengaja mabit di masjid ini, mau beribadah khusyuk meski suaminya ada di rumah. Ibu ini siap dijemput setelah subuh.
“Saya, Alhamdulillah sudah tua...sudah keliling hingga ke tembok Cina”
Ibu itu terus bercerita
“Tapi saya suka momentum Ramadhan, mabit mulai dari awal-awal ramadhan. Banyak hikmah nak.”
“Oh iya, kamu jangan lupa banyak berdo’a di bulan ini nak, minta jodoh yah...InsyAllah dikabulkan..pasti..janji Allah pasti! Ini bulan dikabulkannya do’a...jodohmu pasti yang terbaik dari Allah, mintalah”
Dalam hati cuma bilang “yaa...itu lagi” 
Malam dihiasi dengan tafakkur dengan segala kerendahan hati bermunajat pada Allah. Di sekililing kami terlihat ibu-ibu yang aneh-aneh. Kami ber 20 di tempat itu. Ada yang bicaranya bisnis mulu, ada yang ngoceh-ngoceh tak jelas, tapi selebihnya mereka tenggelam dalam kekhusyukan ibadah. Subhanallah.

Sahur tiba, kupon dibagikan. Saya menikmati saja antrian pendek ini. Seperti mau dibagikan sembako. Tak apalah! Emang kenapa?.
Setelah, menukar kupon dengan makanan sahur bersama seorang ibu, beliau mengingatkan
“pengalaman sahur seperti ini mengingatkan kita pada kaum dhuafa, kita sahur di tengah-tengah mereka. Kita jalani dan jadikan ini bahan renungan. Ini masih lebih baik, karena di masjid lain ada yang lebih memprihatinkan dan dengan menu sahur sekadarnya. Belajarlah dari sini nak”.
Saya sangat menikmati suasana malam itu hingga sahur.
Allah memang Maha Baik. Maha Tahu kebutuhan hambaNya. Saya yang sepi di rumah, tiba-tiba saja digerakkan untuk ke Masjid itu, bertemu dengan ibu-ibu tadi, sungguh karunia dari Allah. Selain saya banyak belajar, saya merasakan atmosfer rumah di bulan Ramadhan ini. Sehari Sebelumnya saya hanya dibangunkan anak-anak yang keliling gang memukul kentongan memecah gendang telinga, mengganggu bagi yang mendengarnya. Sekarang, saya dibangunkan dengan penuh kelembutan oleh ibu-ibu tadi. Satu persatu mereka mengajak saya untuk makan, mengingatkan sudah shalat lail atau belum. Sungguh menyenangkan dan menenangkan. Semoga nama dan wajahku ikut teriring dalam do’a mereka. Ngarep.. :D,