Senin, 14 Maret 2011

SEMANGAT ALTRUISTIK PERLU DIDUKUNG PEMAHAMAN YANG TEPAT



Pagi yang berkah. Ini Sabtu yang paling semangat, pagi-pagi sudah siap berangkat ke kampus (biasanya, Sabtu adalah hari terbaik untuk istirahat setelah 5 hari bekerja dan lupakan kuliah :D). Benar kata nenek, berpacu dengan pagi agar rezeki tidak dipatok ayam. Saya tidak perlu mengeluarkan ongkos kopaja dua ribu rupiah untuk rute perempatan Matraman – Rawamangun. Seorang laki-laki muda yang sebelumnya bertanya “mbak.. ke terminal rawamangun naik apa yah”, sepertinya ingin mengucapkan terima kasih dengan “caranya” sendiri. Bagi saya sudah ada dua keuntungan, pertama karena dibayarkan ongkos kopaja, kedua saya sudah membebaskan diri saya dari sifat kikir memberi informasi.

Rezeki saya tidak itu saja di Sabtu pagi, baru saja turun dari kopaja terlihat ada perempuan yang tergeletak di pinggir selokan, persis di samping halte depan kampus UNJ. Di samping perempuan tadi ada anak 18 bulan di sebelahnya yang hampir nyebur ke dalam selokan. Hanya ada dua orang di halte, mereka memandang dari jauh dan sedikit penasaran, perempuan itu masih hidup apa tidak. Sebenarnya saya jadi mikir, dua orang sebelumnya saja enggan mendekati . Mereka takut sepertinya. Ah sudahlah, demi kemanusiaan Bismillah saja karena saya tidak tahu apa hal serupa bisa menimpa saya, teman atau keluarga saya di waktu berbeda. Anggap saja ini tabungan kebaikan.

Perempuan tadi masih hidup setelah memeriksa nadinya. Anaknya masih tetap asik bermain sambil mengganggu ibunya. Saya langsung berusaha mengidentifikasi perempuan tadi. Sepertinya, dia bukan gelandangan dan bukan pula korban kekerasan atau suatu kejahatan. Dia membawa baju serta perlengkapan untuk anaknya dan terlipat rapi di dalam tas. Saya sedikit grogi juga, sudah setahun lebih tidak pernah “bersentuhan” langsung dengan perempuan korban dalam tugas pelayanan pengaduan baik independen maupun tugas di LBH (kalaupun iya, hanya menangani konsultasi perempuan yang akan diceraikan). Duh, mana ini ada anak kecil pula, HP lowbat, sendiri dan ikut menjadi tontonan. “ dek tolong dong cari temanmu yang cowok di dalam kampus..”. Kalau dua orang di halte tadi susah dimintai tolong, kupikir mahasiswa biasanya lebih punya kepekaan dan sikap altruistik. Sisa energi telepon kumanfaatkan untuk menelpon teman kuliah dan teman kantor yang sebisa mungkin membantu, kalau ternyata kepekaan orang-orang sekitar susah untuk tergugah.
Setelah salah seorang teman datang, barulah beberpa orang lain mulai mendekati dan memberi minyak angin, teh hangat, dan menemani menjaga anaknya. Seorang sekuriti kampus telah menelpon pihak Polsek setempat. Meski sebelumnya teman sekantorku juga ikutan panik dan menelpon kepolisian (entah polisi mana) dan seperti sudah melekat kuat dalam memori, kalau tempat pengaduan perempuan korban adalah *2**** (terakhir baru sadar, domain kerja mereka hanya untuk korban kekerasan), sehingga oleh temanku pun ditelpon agar dapat membantuku di TKP. Sempat ada masalah juga dengan hal ini, untungnya mereka adalah orang-orang yang bijak sehingga sama-sama memaknai dalam bingkai kaca mata kemanusiaan, meski proses yang ditempuh kurang sesuai prosedural).

Polsek yang ditelpon oleh sekuriti tadi meluncur ke TKP (tadinya ingin membawa perempuan tadi ke rumah sakit, tapi tak seorang pun dari kerumunan yang mendukungku). Perempuan itu bersama anaknya di bawa menuju kantor polisi, tak tega membiarkannya sendiri saya ikut menemani. Perempuan tadi lemas tak bertenaga, akhirnya dibawalah ia ke RS terdekat. Setiba di RS, polisi tadi pamit pulang mau berpatroli. Tinggallah saya seorang diri di RS dan harus menangani anak usia 18 bulan yang terus menangis memanggil ibunya. Sambil menyuapi roti dan biskuit. Awalnya saya masih cukup bisa mengendalikan situasi, tapi semakin anak itu menangis dan oleh perwawat tidak membolehkan anak kecil mendekati ruang pasien, semakin paniklah saya dibuatnya. Apalagi menjadi tontonan banyak orang. Saya jadi berpikir, sekian lama saya bergelut dengan isu perempuan dan anak, ikut terjun dalam penerimaan pengaduan di LBH maupun secara independen, sekarang bekerja di kantor pemerintahan yang mengurusi anak dan perempuan, lalu bersekolah di bidang pendidikan anak, tapi tetap saja saya kikuk menghadapi persoalan perempuan dan anak (yang mungkin saja ini kasus biasa dibanding kasus-kasus lain yang mungkin pernah ikut membantu menanganinya). Untunglah, ada seorang pekerja sosial yang baik datang menemani (lagi-lagi saya harus minta maaf padanya, barangkali ini bukan domain kerjanya). Sambil menunggu siuman, saya sempat pamit ikut kuliah dulu. Setelah selesai dari kampus, saya mampir lagi dan mengurus proses administrasi RS.

Perempuan tadi bercerita alasannya ke Jakarta. Saya percaya padanya, meski untuk mempercayai kasus serupa seringkali membuat saya marah juga. Banyak penipuan dengan modus tidak punya ongkos. Dokter sendiri mengingatkan saya untuk hati-hati penipuan, tapi bagi saya akan bisa terdeteksi mana penipuan dan mana yang murni butuh pertolongan. Perempuan tadi tersesat dan kehabisan uang. Saya menyarankan ia untuk kembali ke Brebes. Karena 3 hari di jakarta tanpa tidur dan kelaparan akan memperburuk kondisinya. Akhirnya oleh Polisi, dia ditemani ke statisun Senen.

Menolong dalam konteks Jakarta, terkadang bukan hanya sekadar persoalan kemanusiaan. Tapi juga soal risiko. Banyak yang memiliki jiwa kemanusiaan, tapi tidak banyak yang ingin mengambil risiko, salah satunya risiko waktu. Tidak hanya itu, akses pun juga menjadi persoalan. Terkadang, Jika ada yang menemui perempuan korban di jalan atau sekitar rumah mereka (baik korban kekerasan, penelantaran, kriminal dan sejenisnya), mereka sangat ingin membantu, tapi mereka sendiri bingung dan tidak tahu harus memberi bantuan seperti apa. Ini terkait lemahnya informasi dan akses mereka untuk menjangkau tempat-tempat pemberi pelayanan pengaduan, ataupun tidak memahami alur “advokasi” yang bisa mereka tempuh. Belum apa-apa mereka sudah takut duluan kalau nanti harus berhubungan dengan polisi, kalau diantar ke RS nanti siapa yang jadi jaminan, siapa yang harus membayar. Sehingga sikap altruistik untuk menolong manusia terkalahkan dengan ketakutan akan risiko yang ditimbulkan dan semakin menciut karena tidak ketahuan masyarakat untuk menempuh akses yang tepat. Sosialisasi, sepertinya menjadi kata kunci.
(Mel, 14/3/2011)